Bagian Lima Belas: Surat yang Tidak Pernah Kamu Baca


Halo, kamu apa kabarnya? Mungkin udah hampir setengah tahun kita gak pernah ngobrol lagi semenjak kericuhan yang aku buat dulu. Kalau boleh jujur, ada banyak yang mau aku sampaikan, terlepas surat ini kamu baca atau enggak di masa depan, aku gak pernah tau.

Aku bakal mundur dulu ke empat tahun lalu, tahun 2020 akhir, dimana kita gak sengaja kenalan satu sama lain. Waktu itu aku memang baru putus dari hubunganku sebelumnya, dan gak pernah punya ekspektasi apapun dengan siapapun, termasuk kamu.

Kita ngobrol dan melakukan telepon singkat melalui whatsapp, kalau tidak salah ingat, waktu itu kamu bernyanyi beberapa potong lagu dan somehow I found it amazing. You were adorable. Satu lagu yang kuingat adalah lagu dari Sheila On 7, yang membuatku juga ikut bernyanyi bersama denganmu.

Berat untukku mengulas balik semua hal tentangmu dalam tulisan ini. Sembari tanganku mengetik, aku sudah mempersiapkan segala kemungkinan air mata yang bakal mengucur di pipi. Aku juga menulis ini sambil mendengarkan instrumental film Ghibli, instrumental pengantar tidur favoritmu.

Kembali lagi, anehnya, malam itu entah bagaimana aku tahu bahwa aku hanyalah satu dari sekian perempuan yang pernah kamu ajak berbincang. Aku tahu dari bagaimana nada suaramu, apa saja pemilihan topik pembicaraan yang kamu lontarkan, I just knew. 

Waktu itu memang aku suka bermain Mobile Legend. Aku juga ingat, saat itu kamu juga bermain game tapi game yang kita mainkan berbeda. Kamu lagi sering main LOL. Bahkan menyuruhku untuk ikut main, walaupun kutolak dan berakhir kamu yang kembali mendownload Mobile Legend agar bisa bermain denganku.

Malam itu adalah malam tahun baru menuju 2021 yang kuhabiskan dengan membakar jagung dan grill daging bersama teman-temanku. Seusai acara itu, sekitar jam 11, aku memilih pulang dan menghabiskan waktu denganmu bermain ML bersama. Aku ingat waktu itu data internetku hampir habis di pergantian hari, dan setelah aku mengucapkan "Selamat tahun baru, ya", koneksi internet pun terputus.

Namun entah kenapa kamu malah mengisikan nomorku pulsa, dan membuatku melanjutkan permainan bersamamu. Singkat cerita, karena saat itu aku sedang menjalani fase rebound, lumayan tidak merasa sepi karena kehadiranmu dan teman-temanmu yang lain (kamu mengajakku bermain bersama mereka setiap malam).

Memasuki bulan Januari, komunikasi pun kian intens. Status kita yang awalnya tidak lebih dari teman main, mulai naik tahap karena aku yang semakin intens memberi kabar tentang hari-hariku. Aku mulai melihatmu berbeda dari pria-pria yang kutemui sebelumnya. Aku mulai memberanikan diri untuk terbuka mengenai diri dan masa laluku, pemikiranku yang mungkin tidak mampu diterima oleh kebanyakan orang, ambisiku, dan banyak lagi kepingan tentangku.

Kamu juga melakukan hal yang sama. Tak jarang kalimat-kalimat berisikan pengaguman kamu lontarkan. Dan itu membuatku hanyut karena hal yang kudapat dari mantanku sebelumnya hanyalah kebencian dan caci-maki. 

Seorang perempuan yang telah hancur berkeping-keping, pelan-pelan serpihan itu dikumpulkan dan direkatkan kembali oleh satu laki-laki asing.

Perempuan mana yang tidak terbuai? Dulu aku hanyalah perempuan naif biasa yang mudah termakan kata-kata. Terlebih tutur dan kepribadianmu yang memang lembut, siapa yang mampu menolak itu semua?

Di malam ke 10 bulan Februari, kamu menyatakan perasaanmu. Aku ingat betul karena rasa raguku kala itu sangat besar. Walaupun aku memang tahu cepat atau lambat, kamu akan sampai ke tahap ini. Satu kata hatiku yang kuabaikan kala itu adalah perintah untuk mengucap "Jangan" tapi aku tidak mendengarkan. Sampai detik ini, I was still wondering, 

What if I listened to myself? 

What if I never give you a try? 

Would it be different?

Banyak sekali hal yang kita lalui dan lakukan bersama. Through the entire two years, being with you has taught me so many things. Entah karena kamu yang mengajarkanku, atau beberapa pelajaran yang bisa kupetik selama menjalani hubungan denganmu sekaligus menghadapimu.

Untukku perempuan yang dulunya jarang mendapat perhatian lebih dari orang rumah, selalu berusaha mencari perhatian juga kasih sayang dan validasi itu diluar rumah--terlebih dari lingkup pertemanan yang kumiliki, you gave me just enough amount of love and attention.

I might say, I gave you all of myself there's nothing left for me, and that was wrong.

That's why it was so hard for me to even standing in my own feet for myself after that separation. To even learn how to walk properly ever since you left because, I gave it all the power to you.

It was such a long journey ahead to brave myself enough to write things about you. It was so unclear and loud in my own head, it haunts me every single night.

The urge to scream and curse badly in front of your face.

But at the same time, the memories keep running constantly in my mind.

Keputusan yang kamu ambil di Jakarta dulu, entah apa alasan dibaliknya--karena aku juga tidak mau tahu, mengubah diriku sepenuhnya.

Benci? Tentu.

Marah? Pasti.

Kecewa? Kurasa sudah satu paket.

Aku bahkan tidak tahu bahwa aku bisa jadi sependendam itu, kalau bukan karena dirimu. Ada beberapa saat aku menangis karena marah, Marah karena tidak sempat melampiaskan itu langsung di depan wajahmu because I know you deserve all that anger after what you've done to me. Marah karena betapa teman-temanku bilang aku harusnya menonjok dirimu alih-alih tersenyum di bandara dan memeluk dirimu saat hendak pulang ke Samarinda.

Tidak terhitung berapa sesi dengan Psikolog yang kusambari. Berapa keping dan macam dosis obat penenang yang harus kuteguk dari Psikiater untuk membuatku terlihat begitu tenang. Ngomong-ngomong, sejak tahun baru kemarin, aku sudah melepas obat-obatanku. Aku menyadari bahwa aku harus belajar melatih tubuhku untuk melawan rasa sakit dan tidak menyenangkan ini ketimbang harus terus-menerus bergantung pada obat neurotropika dan juga antidepresan.

Kesannya memang seperti pepatah, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga" bukan? Seolah-olah semua kebaikan yang kamu lakukan selama dua tahun tiada artinya. Seakan semua pemberian dan usaha yang kamu lakukan--termasuk untuk menyambangiku sebanyak dua kali bukan berarti apa-apa.

Tapi apa kamu ingat bahwa selama kamu disini, kamu sudah menjadi bagian keluargaku? Kamu begitu diterima oleh kedua orangtuaku dan juga kedua saudaraku. Tidak ada yang membenci atau menganggapmu remeh disini. Padahal kalau dipikir-pikir, kamu itu tidak lebih dari orang asing.

Bukan cuma keluarga, kamu juga bertemu banyak dari teman-temanku. Aku selalu jadi orang pertama yang membanggakanmu di depan orang lain tatkala banyak orang diluar sana yang meragukan hubungan jarak jauh seperti yang kita lakukan.

Dengan bodoh dan naifnya, aku berpikir bahwa "This relationship will works because how much efforts I do".

Dari kejadian ini pula, aku tahu satu hal:

You just love the idea of me. The idea that I could be a nice girlfriend with some wife potential just because I cooked your favorite meal and I am faithful to you. The idea that I always been that cheerful type, to make you smile at the end of the day. The idea that I gave you my all so you can do nothing to love me.

Aku tahu disini isu mentalku adalah yang utama. I was so unstable at that time and I don't even know why.

Tapi hal itu yang membuatku marah. Bukankah jika kamu memang mencintai seseorang, kamu akan menerima sakit dan sehatnya? Menemaninya agar dia pulih seperti sedia kala, bukan malah sebaliknya? Banyak sekali kisah laki-laki yang menemani istri atau perempuannya di rumah sakit--entah sampai si perempuan mati, atau malah sebaliknya jadi sembuh total. 

Thats what a gentleman would do, right?

Namun disatu sisi, aku juga lega. The fact that I know you don't deserve this version of me brings me peace. Dan mungkin, aku juga tidak layak untuk membersamai versi dirimu yang sekarang. Itu sebabnya Tuhan memisahkan kita.

Fakta bahwa kamu bukanlah dirimu yang dulu. Dan aku juga bukanlah diriku yang dulu kau kenal. Kita sudah memilih jalan masing-masing. Setiap baik dan buruk.

Satu teman bertanya padaku, jika saat ini kau duduk dihadapanku, apa yang akan kulakukan?

Jawabanku masih sama: untuk apa aku berada dalam satu ruangan yang sama denganmu?

Ketimbang memantik luka lama, aku lebih memilih pergi dan tidak pernah melihatmu lagi. Aku sudah pernah pinta ini padamu, jika suatu saat di masa depan datang saatnya kita berjumpa satu sama lain, abaikanlah aku dan jangan pernah anggap kamu kenal denganku.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagian Tujuh Belas: Efek Samping Kehilangan

Bagian Delapan Belas: Perihal Krisis Seperempat Hidup