Bagian Tujuh Belas: Efek Samping Kehilangan

 


    Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah merasakan kehilangan, bukan? Entah itu kehilangan orang yang tersayang, hewan peliharaan, pekerjaan, barang berharga, bahkan yang paling ekstrem.. kehilangan ingatan.

    Dan kali ini, aku akan membahas yang pertama.

    Yaitu kehilangan orang tersayang, atau lebih tepatnya.. orang yang dicintai.

    Kita semua pasti pernah berjumpa dengan satu orang yang rasa-rasanya paling membekas, karena kita bukan saja memberikan hati kita sepenuhnya kepada mereka.. melainkan mereka juga mampu mengubah cara pandang bahkan juga hidup kita secara keseluruhan. Baik itu yang positif maupun negatif.

    Yang namanya hubungan, seperti layaknya law of polarity atau yin dan yang, sudah pasti satu paket dengan hal baik maupun buruk. Entah sifat, kebiasaan, sampai pola penyelesaian masalah dari hubungan tersebut. Dan tidak jarang, hal itu juga berdampak ketika kita sudah berpisah dari orang itu, tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu.

    Ada beberapa tipe orang dalam menghadapi kehilangan yang begitu berat dengan satu persamaan: timbulnya trauma bond atau sebuah perilaku tidak biasa yang dipicu dari adanya trauma. Kalau ditanya, apakah aku mengalami trauma bond itu? Jawabannya sudah jelas, pasti iya.

    Beradaptasi kembali setelah kehilangan yang luar biasa, pasti berat. Life after breakup, maupun life after divorce setiap orang mesti lah berbeda. Maka dari itu, penuh perjuangan luar biasa untuk membiasakan diri dengan kehilangan itu, atau istilah lainnya adalah coping mechanism.

    Sepanjang yang kutahu, coping mechanism adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi suatu tekanan atau stress yang tercermin lewat pemikiran dan perilaku. Layaknya konsep Yin & Yang, kemampuan ini juga ada yang baik, maupun buruk. Layaknya obat yang ditelan tiada habis, sesuatu yang berlebihan tidak lah baik.

    Banyak orang yang melarikan diri dari tekanan tersebut, dengan menghindari perasaan yang ia rasakan. Contohnya, terlalu cepat memaksakan diri mengenal dan mencintai orang baru, dengan harapan bahwa orang ini mampu 'menyembuhkan' kita, dan tanpa disadari menjadikan orang tersebut pelarian belaka terhadap rasa sakit yang kita lalui.

    Pada akhirnya, luka lama itu tidak dihadapi dengan semestinya. Goretan lama yang muncul ke permukaan hanya ditambal 'sekadarnya' saja, tidak benar-benar disembuhkan seperti seharusnya. Lalu satu pertanyaan pun muncul,

    Apakah hal itu salah?

    Ataukah, justru benar?

    Jawaban yang bisa kuberi adalah, tidak ada jawaban mutlak. Kebenaran dan kesalahan itu bersifat putih dan hitam, padahal masih ada abu-abu atau pemikiran netral untuk menyikapinya.

    Percayalah, proses penerimaan dan berdamai dengan keadaan seseorang bisa jadi merupakan suatu hal panjang. Seseorang bisa saja nampak baik-baik saja pada suatu waktu, namun siapa yang tahu jika ia menyimpan luka yang begitu dalam.

    Ketika kita membicarakan kehilangan tersayang, tentunya kehilangan tersebut membutuhkan waktu yang hanya diri kita dan Tuhan yang tahu. Pertanyaan demi pertanyaan seolah tidak habis dalam pikiran, menghantui hari demi hari, bulan ke bulan, dan seterusnya. 

    Hal ini bukan saja berlaku pada kekasih, boleh jadi kehilangan sebuah teman, anggota keluarga, atau pun kehilangan berarti lainnya.

    Ada yang berpendapat bahwa kehilangan teman jauh lebih menyakitkan ketimbang kehilangan pasangan, dan sebaliknya. Padahal, jika kamu menghargai sesuatu sedemikian rupa, melihat hal tersebut 'lecet' saja kau tidak tega, apalagi kehilangannya.

    Sayangnya, aku adalah seseorang yang sangat menghargai suatu hubungan. Apapun itu. Entah itu pertemanan, percintaan, atau yang lainnya. Namun disatu sisi aku sadar, bahwa kehilangan merupakan sebuah proses yang dilalui semua manusia, bahkan semua makhluk di muka bumi. Jangankan kita manusia, kucing pun boleh jadi bersedih dan stress pasca kehilangan anaknya. 

    Kehilangan merupakan pembelajaran. Kehilangan memang suatu proses yang berat, sangat naluriah jika kita mengalami berbagai macam rasa; entah itu sedih, kecewa, marah, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tidak pernah merasakan kehilangan dalam hidupnya. Setiap dari kita ditakdirkan untuk merasakannya, seringan maupun seberat apapun itu.

    Apakah aku pernah sedih? Tentu.

    Kecewa? Pasti.

    Marah? Tidak usah ditanya.

    Tidak ada kehilangan yang tidak berat. Tidak semua kehilangan mampu kuhadapi dengan bijak sampai detik ini. Entah itu kehilangan manusia, maupun kehilangan sesuatu dari diriku yang sangat berharga. 

    Semuanya membayangi pikiranku. Semua seakan mengejar-ngejar diriku yang tidak berdaya, menuntut jawaban mengapa hal ini terjadi. Padahal, diriku tahu benar bahwa beberapa hal memang tidak bisa terus menerus kita kontrol. Ada beberapa hal yang terjadi diluar kuasa kita, namun tetap saja berat untuk dilalui.

    Tanpa sadar, mataku mulai sedikit lembab dan berair ketika mengetik bagian ini. Entah kemana aku harus mengadu, entah siapa yang benar-benar peduli, kebanyakan hal yang menimpaku selalu kututup rapat seorang diri. Aku tidak tahu seiring bertambah dewasa kita, beragam jenis ujian dan cobaan harus kita hadapi, termasuk kehilangan.

    I was struggling to fight my own demons inside me.

    I was screaming.

    I was mad.

    I was crying and sad at the same time.

    And the funny thing, I also laughed at the irony itself.

    But at the same time, I can do nothing.

    Lagi-lagi, kota tempatku tinggal kini menjadi saksi bisu atas segala hal yang kulalui. Betapa hancur, rapuh, dan lelahnya diriku di satu waktu. Betapa semua perasaan tidak nyaman ini seakan tidak terbendung, bak hujan yang tak mampu menahan deras rintiknya.

    Yang perlu dipahami disini adalah, dibalik setiap kehilangan terdapat pertemuan. Layaknya ada naik dan turun, ada sehat maupun sakit, ada yang hilang maka ada yang terganti. Dan selama dua tahun terakhir, aku belajar bahwa pertemuan tersebut tidak selalu tentang menemukan orang baru untuk buru-buru dicinta, melainkan aku jadi menemukan diriku sendiri, yang jauh lebih kucinta.

    Sekian dan terimakasih, tulisan emosional ini cukup kuakhiri disini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagian Lima Belas: Surat yang Tidak Pernah Kamu Baca

Bagian Delapan Belas: Perihal Krisis Seperempat Hidup