Bagian Delapan Belas: Perihal Krisis Seperempat Hidup
Walaupun umurku belum genap 25 tahun, rasa-rasanya aku susah payah dalam menghadapi Krisis Seperempat Hidup yang akan kubahas dalam tulisan ini. Untuk permulaan, sekitar tahun 2019 saat aku masih semester 3, aku pernah bertanya dalam workshop dengan seorang Psikolog,
"Bagaimana cara menghadapi quarter life crisis?" Tanyaku saat itu dalam keadaan clueless.
Psikolog itu sama bingungnya denganku kala itu, setelah dia menanyakan umurku yang ternyata masih 19 tahun, ia tertawa kecil sambil menasihatiku, "Fokus saja perbanyak teman dan lingkup pergaulanmu."
Sebuah jawaban yang benar, namun kurang memenuhi hasrat keingintahuanku pada saat itu. Yang kuharapkan adalah sebuah jawaban mendalam, dan bagaimana proses seseorang melalui itu semua. Andai kala itu dia memberikan jawaban yang lebih rinci, mungkin saja aku sekarang tidak sebingung ini.
Krisis seperempat hidup ini memang menimbulkan beragam tanda tanya, dan kurasa waktu yang berhak menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Kapan aku akan lulus?
- Kapan aku mempunyai pasangan?
- Sudah siapkah aku dengan pasanganku menuju ke arah yang lebih serius?
- Mampukah aku membina rumah tangga seperti yang kuidamkan?
- Mampukah aku berguna bagi masyarakat banyak seperti yang kucita-citakan?
- Apasih sebenarnya tujuan hidupku selama ini?
Dan banyak lagi pertanyaan memusingkan lainnya, yang sebenarnya hanya perlu dijalani saja. Waktu dan Tuhan lah yang memegang kunci terhadap segala keresahan yang kian membingungkan tersebut. Tugas kita sebagai manusia hanya menjalankan sesuai porsi kemampuan kita masing-masing, dan menyerahkan sebagian kecil sisanya untuk Ridha, alias berserah diri pada Tuhan.
Sebagai pengingat untuk diriku di masa depan, aku menulis ini sesudah pertemuan KKN dengan teman-teman yang baru saja kukenal. Dan ngomong-ngomong mengenai manfaat penciptaanku di dunia, kurasa sedikit-sedikit sudah mulai kumengerti. Aku duduk disini, sebagai pelanggan salah satu gerai kopi ternama, membawa rezeki bagi mereka yang bekerja disini. Hal-hal yang kuobrolkan, ide-ide yang kusampaikan, dan dokumentasi yang dilakukan tentu juga mengukir memoriku di akhir umur 23 tahun ini.
Seusai tersenyum, aku jadi menyadari satu hal. Bahwa kehadiranku sebagai manusia memang tidak terlalu penting, alias aku sama sekali bukan pusat semesta yang sedang berjalan, namun aku juga tidak selambat, seburuk, setidakberguna yang kupikirkan. Aku berguna, bermakna, bermanfaat bagi mereka yang membersamaiku secara langsung maupun tidak langsung.
Dulu ketika aku baru memulai blog ini, aku hanya menulis di kasur depan lemari kaca. Tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan menjadi diriku yang versi sekarang; rapi, enak dilihat, mandiri, dan punya pekerjaan yang kusukai. Dahulu, semua yang kulakukan hanya sebatas angan, namun semuanya terbayarkan sudah.
Aku sangat memahami bahwa aku tidak boleh berhenti sampai disini, menjadi manusia yang terlalu cepat puas itu justru menghambat proses pembelajaran dirimu, namun terlalu buru-buru untuk segala sesuatu juga tidak lah baik. Seperti yang kutulis ditulisan sebelumnya mengenai dualitas, bahwa segala sesuatunya lebih baik seimbang, tidak terlalu cepat sampai mengabaikan diri sendiri, namun juga tidak terlalu lambat sampai orang disekitarmu tidak mendapatkan benefit akan kehadiran dirimu.
Omong-omong tentang penciptaan manusia dan makhluk lainnya, aku selalu kagum karena segala sesuatu sudah ada guratan takdirnya. Bukan hanya manusia, kita ambil contoh hewan: kucing. Kucing tidak pernah tahu takdirnya menjadi kucing rumahan yang memiliki majikan baik hati, atau malah sebaliknya. Contoh saja kucingku si Cya. Cya tidak pernah tahu apakah hari itu aku akan berbaik hati membawanya pulang dari Eramart dengan saudaranya Cyo, dan mengurus mereka sampai dewasa atau mungkin kalau saja aku tidak melakukannya, Cya dan Cyo masih 'nongkrong' manis di daerah situ.
Aku juga memahami bahwa tumbuhan seperti bunga, juga mempunyai fase dan 'ruang lingkup' versi dirinya sendiri untuk tumbuh bermekaran. Mungkin saja kamu sebagai bunga tidak kunjung mekar karena tanah tempatmu berdiri tidak kunjung memberi air dan pupuk. Yang perlu kamu lakukan hanyalah mencari tempat dimana segala potensi, kelemahan, dan juga kelebihan dirimu diterima dengan baik untuk 'mekar' dengan sempurna.
Layaknya tulisanku Filosofi Terangnya Bulan, kita semua punya fase masing-masing dalam hidup yang membuat kita bertumbuh tiap kali kita melewati fase tersebut. Dan selalu ingat bahwa, setiap orang punya porsi masing-masing. Itu sudah ditakar oleh Semesta, sesuai dengan keputusan demi keputusan yang kita pilih, yang tentu saja tidak luput dari campur tangan Yang Kuasa.
Dengan aku duduk disini, tepatnya di Kopi Kenangan, aku tidak tahu menahu 2 atau 3 tahun yang akan datang dimana lagi aku akan menulis. Apakah aku akan menulis kisah cintaku dengan sebegitu indah dan romantisnya, atau menulis guratan demi guratan kebahagiaan dan pencapaian kecilku seperti hari ini. No one knows.
At the end of the day, aku sangat bersyukur, beruntung dan bahagia dengan apa yang melekat dalam diriku--kelebihan dan segala kekuranganku, yang tentunya merangkap menjadi satu. Ini adalah saat aku untuk berusaha bangkit untuk yang kesekian kalinya, seraya menerima apapun yang memang sudah digariskan untukku. Kuusahakan dengan kedua tangan terbuka, namun juga kujalani sekaligus kulepaskan dengan kedua tangan terbuka pula.
Akhir kata, sampailah kita pada penghujung tulisan hari ini. Aku harus lanjut bekerja sebagai Announcer di KPFM Samarinda. Sebuah cita-cita kecil yang akhirnya kesampaian!
Mungkin akan kutulis lebih lanjut dikesempatan berikutnya, ciao!
Komentar
Posting Komentar