Bagian Sepuluh: Esensi dari Merasa Cukup

 



Halo semuanya. Maaf banget baru menyempatkan diri lagi untuk menulis sebuah ocehan yang tidak tersampaikan di blog yang sudah sangat berdebu ini. Ya iyalah berdebu, udah hampir 2 tahun gak ditulis. Maafin karena tahun kemarin lebih aktif nulis di Quora dan sedikit menjadi penerjemah dadakan dari Quora English—ya hitung-hitung ngasah skill dan memperluas kosakata walaupun gak seberapa lah ya.

Kali ini sesuai judulnya aku bakal sedikit mengoceh tentang ‘Esensi dari Merasa Cukup’. Merujuk dari KBBI, pengertian esensi sendiri adalah hakekat; inti; hal yang pokok. Ya walaupun sebenarnya sudah sedikit kenyang mempelajari seluk-beluk hakekat di mata kuliah filsafat ketika duduk di bangku semester tiga.

Berbicara tentang rasa cukup, pastilah tidak jauh dari kata kerja bersyukur. Iya kan? Kalau boleh aku cerita sedikit, selayaknya jutaan orang diluar sana yang mengeluhkan betapa beratnya tahun 2020 yang lalu, aku adalah salah satu orang yang dipaksa berjuang dan memakan hantaman sana-sini dari Semesta. Beneran deh. Gak main-main. Mungkin kalau diibaratkan sekumpulan orang yang lagi tawuran, makhluk mini yang tingginya kurang lebih 150cm-an ini sudah habis babak belur.

Masalah apa dan kenapanya biar kusimpan sendiri lah ya.. tapi satu hal yang pasti. Tahun lalu kulewati dengan perasaan kurang. Kurang ini, kurang itu. Ngeluhin ini, ngeluhin itu. Meratapi nasib, membanding-bandingkan diri dengan kehidupan orang lain, semuanya. Sampai suatu hari ketika aku sudah mencapai batas ambang ketahananku, seorang teman memberikan tamparan yang kalau disingkat mungkin seperti ini:

“Stop banding-bandingin diri sama orang lain. Kamu itu kurang bersyukur, Ismi. Coba liat sekelilingmu masih banyak hal yang bisa kamu syukuri.”

Shoutout to my dearest bestie Mega Loren, I really love you.

Dan ya seketika omongan bak tamparan keras dipipi itu ngebuat aku sadar dan bertanya-tanya, mana sih Ismi yang dulu pandai merasa cukup akan segala sesuatunya?

Mana sih Ismi yang dulu mudah sekali bangkit dan mencari kebahagiaan sederhana miliknya?

Dari situ aku mulai merenung banyak. Kalau dibilang overthinking ya iya sih. Memang. Cuma OT yang ini kurasa berfaedah ketimbang OT yang lain karena memaksaku untuk membalik sudut pandang dari yang merasa serba kurang pelan-pelan mampu bersyukur dan berterimakasih atas hal-hal sederhana yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Apa saja memang?

Aku bersyukur karena masih mampu memberi kucingku makan (I really miss you Miki, my baby boy walaupun kamu hanya kucing kampung dengan corak unik yang demen banget berantem). Satu kebiasaan Miki adalah begitu dia tau aku pakai daster dan duduk di lantai depan pintu dapur, he’d likely to hop on to my lap dan minta dielus. Cutie. Dari gestur kecil dan sepele yang dilakukan kucingku itu sudah cukup membuatku merasa “Oh iya, aku masih dicintai kok.”

Aku juga berterimakasih dengan makanan apapun yang masuk ke dalam mulutku kala itu. Apalagi kalau sudah menyangkut lauk favorit misal tahu, ayam paha atas, sawi, capcay dsb. Dah lah. Fabiayyi ‘aala irobbikuma tukadziban. Nikmat Tuhan-ku manalagi yang harus aku dustakan?

Tidak lupa aku berterimakasih karena masih bisa berteduh dan beristirahat dengan nyaman di dalam kamarku yang menurutku wuenak pol—walaupun jujur masih sedikit susah untuk merasa benar-benar tenang. Namun setidaknya kasurku masih empuk, boneka kesayangan masih bisa kupeluk, dan udaranya tetap sejuk. Sebuah kombinasi yang aduhai untuk mendapatkan tidur yang paripurna. Cielah, hahaha.

 Aku juga mulai memahami kalau aku juga harus merasa serba cukup dengan diriku. Aku mulai mencintai senyumku yang acapkali terlihat aneh dimataku. Aku mulai mencintai bentukan Tuhan yang sudah ia ciptakan kepadaku, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku cukup berbangga diri karena ditengah-tengah orang yang sibuk merasa kurang dan insecure sejak ada fenomena good-looking and stuff, aku malah merasa cukup. Sangat cukup.

Ya walaupun kecukupan ini bisa saja berbalik menjadi pisau bermata dua. Karena jangan sampai perasaan cukup ini malah membuatku jatuh ke kubangan toxic positivity. Alias malas meng-upgrade diri menjadi yang lebih baik lagi. No.

Just because I say I love my body then it means I stop to taking care of it.

Bukan berarti aku bisa bablas makan sesukaku dan mengabaikan berat badan dengan dalih “I love my body!”. Bukan itu esensi dari merasa cukup yang kumaksud disini. Mungkin akan kutulis lain kali perihal perjalananku menerima diri sendiri sampai sejauh ini.

Dan lagi, satu hal yang kutahu pasti: ketika kita mampu merasa cukup akan segala apapun yang menuntut kita merasa kurang, maka disitulah pintu rezeki pelan-pelan semakin terbuka lebar. Selain pembawaan diri yang lebih tenang dan jauh dari kata resah, cemas, dan sebagainya. Kita juga memancarkan frekuensi positif yang luar biasa ke Semesta, sehingga kita semakin menarik berbagai hal baik lainnya dikemudian hari.

It’s called Law of Attraction.

Kalian bisa cari mengenai LoA dimana-mana. Di youtube juga sekarang mulai banyak penjelasannya kalau memang kalian mager baca bukunya. Sebenarnya itu prinsip simpel tarik-menarik antara Manusia dan Semesta. Dan merasa cukup ini adalah salah satu cara yang diajarkan dalam prinsip Law of Attraction sendiri. Mungkin juga akan aku jadikan tulisan sendiri lain kali ya.

Merasa cukup ini juga sangat banyak berperan besar dalam kehidupanku. Perasaan cukup menghindarkanku dari membeli suatu apapun itu yang tidak terlalu aku butuhkan. Gak usah jauh-jauh ke Gadget terkini, fashion paling update, tempat nongkrong super fancy dan instagrammable, dsb. Bahkan sesimpel milih sabun mandi, aku gak bakal muluk-muluk. Toh juga fungsinya sama kan?

Lagi-lagi aku bersyukur karena tidak terikut arus beauty standards atau arus apapun itu yang menuntutku untuk mencoba apapun itu hanya karena sedang ‘viral’. Gimana contohnya? Jadi sekarang ini sedang banyak sekali beredar body lotion, body scrub, dan body-body lainnya yang luar biasa viral. Namun alhamdulillah tidak sedikitpun hawa nafsuku tergerak untuk membeli. Selain sadar akan kemampuan dompet yang segini-gini aja, menurutku ya gak perlu aja gitu toh handbody yang aku beli sebotol cuma 12ribu sudah cukup buatku.

Bukan berarti aku menyalahkan orang-orang lain diluar sana yang mengikuti beauty trend ya. Sah-sah saja. Itu hak mereka kok. ‘Cukup’ bagiku tidak harus selalu sama dengan definisi ‘cukup’ milik orang lain.

Merasa cukup juga membuatku sebisa mungkin menahan diri untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Aku paham betul bahwa setiap dari kita memiliki ‘proses’ masing-masing agar bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Mungkin ada beberapa orang yang memiliki privilege tertentu dan memang benar adanya bahwa jalan mereka senantiasa dimudahkan, namun aku percaya Tuhan itu Maha Adil. Mungkin dari luar dia bisa saja mudah dalam perkara harta, namun siapatau Tuhan memberikan ujian luar biasa dalam hal lain yang pandai ia sembunyikan dan tidak nampak?

Manusia, Tuhan, dan takdir memang penuh rahasia dan tanda tanya.

Kembali lagi, tinggal bagaimana kita menyikapi segala sesuatunya dengan perspektif yang berbeda. Maka dari itu, mulai merasa cukuplah akan segala sesuatunya. Sekalipun keadaan memang memaksa kita untuk selalu merasa kurang, selalu buktikan satu hal pada diri sendiri:

Aku merasa cukup.

Dan lihat keajaiban apa yang akan terjadi.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagian Lima Belas: Surat yang Tidak Pernah Kamu Baca

Bagian Tujuh Belas: Efek Samping Kehilangan

Bagian Delapan Belas: Perihal Krisis Seperempat Hidup