Bagian Sebelas: Ucapan Terimakasih pada Diriku
We don’t have to always explain ourself.
So we can’t always expect others to understand us.
Mengapa demikian? Karena aku
percaya, segala sesuatunya itu kita yang menjalani.
Sama halnya seperti diriku, yang
selama COVID-19 ini sudah bekerja lebih dari 10 kali. Iya, tidak salah dengar,
10 kali memang benar adanya. Dan profesi yang paling banyak kujalani adalah
Barista yang tidak perlu kusebut satu-satu dimana saja. Selain profesi itu.. jualan,
admin dan juga bagian keuangan kantor, serta ojek online pun sudah pernah
kutekuni dengan senang hati.
Apakah aku lantas berbangga selama
4 tahun terakhir bergonta-ganti profesi? Tidak juga. Karena suka duka pasti
ada, dan menghadapinya bukan perkara mudah untuk seusia diriku. Ada sebagian
profesi yang memberiku pengalaman dan orang-orang tertentu sebagai ‘mentor’
dalam diriku memahami seluk-beluk profesi tersebut, dan tidak sedikit juga
orang yang memberiku pengalaman kurang menyenangkan—maupun sebaliknya, dan pada
akhirnya ketika aku menoleh kebelakang, malah memberiku pengalaman berharga
yang tidak kalah hebat dari poin sebelumnya.
Masih membekas di memori tentang
perjuangan diriku untuk pergi bekerja kala keadaan tidak mendukung. Tidak punya
uang, tidak punya kendaraan, ponsel seadanya karena rusak parah, belum lagi pandemi
COVID yang melanda dan culture shock-ku
terhadap pekerjaan tersebut.
Tiga tahun yang lalu, aku sangat
berterimakasih kepada Sivia Azizah karena satu ucapannya yang mengatakan:
“Mau gimanapun keadaan, lo harus bangkit! Face it!”
“Jangan lupa untuk berterimakasih pada kaki karena sudah berupaya
sedemikian rupa untuk terus melangkah.”
“Kita harus menemukan hal-hal sederhana untuk tetap bertahan hidup.”
Dan itu yang kulakukan sejak tiga
tahun lalu. Aku selalu berterimakasih kepada Tuhan, diriku, dan juga Semesta
atas apa yang telah terjadi sejak dulu. Satu tempat di kotaku yang bernama
Tepian, menjadi saksi bisu atas perjuangan melelahkanku selama ini.
Aku lupa sejak kapan aku mulai
berkeliaran bebas di daerah Tepian, entah itu SMP maupun SMA walaupun banyak
orang yang waswas karena disana banyak terjadi tindak kriminal, bahkan ada juga
orang terdekatku yang mewanti-wanti agar tidak ‘ketempelan’ jika terus-menerus
melakukan hal tersebut.
Namun biar diriku sendiri yang
tahu, bahwa berbicara sendiri sambil menangis-nangis, tertawa, maupun marah-marah
dijalan itu adalah bagian diriku yang mengungkapkan segala bentuk ‘sampah emosi’
yang ada dalam diriku. Karena aku tidak bias melakukan apapun. Ketidakberdayaan
menjadi bagian dari diriku. Maksudnya ketidakberdayaan disini adalah aku bukan
tipikal orang yang akan sengaja melukai diriku (read: selfharming) karena aku trauma melihat diriku sendiri dan
orang lain terluka—ini trauma yang cukup serius. Namun aku paham rasanya ada
orang dengan ketidakberdayaan lainnya diluar sana yang memilih melakukan hal
tersebut, dan aku mengerti rasanya.
Aku selalu bersikeras menguatkan
kakiku agar tetap melangkah sejauh dan semampu yang kubisa, sembari terus
berterimakasih atas kedua kakiku yang mungil dan juga pendek ini (begitu kata
orang yang membully-ku dulu) karena tetap sehat melangkah sejauh yang kumampu.
Sekarang aku dengan bangga mengatakan: gapapa
kakiku pendek, gini-gini bisa angkat beban 35 kilo. Hahaha!
Aku selalu berterimakasih kepada
mataku yang sudah ‘melihat banyak hal’. Baik maupun buruk serta beragam tipe
manusia lainnya, pemandangan indah yang tidak harus sejauh Gunung Bromo karena
sesimple Ruang Terbuka Hijau di kota maupun bunga yang kutemui dijalan sudah
membuatku bahagia. Dan yang paling penting, kedua mataku yang melekat di kepala
maupun mata batin yang selama ini susah payah kupelihara untuk melihat segala
hal disekitarku dan juga diriku sendiri.
Aku juga selalu berterimakasih
kepada telingaku karena selama ini kuperkenankan mendengar luar biasa banyak
cerita dari beragam latar belakang, maupun semua umpatan dan juga makian yang
kuarahkan kepada diriku sendiri namun dengan sistem mekanisme pertahanan diriku
yang luar biasa, aku masih tidak menyerah. Masuk
kuping kiri keluar kuping kanan itu benar adanya.
Oh iya, telingaku juga kuizinkan
mendengar begitu banyak lagu sejak aku masih kecil. Aku ingat betul bagaimana
diriku yang berusia 5 tahun menari-nari sambil menenteng radio butut yang sedang memutar lagu Ariel
Peterpan pada tahun 2005. Dan juga lagu Ahmad Dhani serta karya-karyanya yang
lain yang tetap kugemari sampai sekarang. Begitu juga dengan lagu Barat, K-pop, dan Latin yang sering kudengarkan seiring dengan aku yang bertambah dewasa.
Tidak lupa berterimakasih dengan bibir,
mulut, dan ucapanku karena aku tahu walaupun seringkali menyakiti orang lain
sehingga menimbulkan miskonspepsi dan mispersepsi yang salah, aku tetap belajar
mengatakan segala sesuatu yang baik-baik juga untuk orang lain dan juga lingkungan disekitarku.
Aku juga sangat berterimakasih
dengan Andrea Gunawan yang telah mengenalkanku dengan situs realtalkbyandrea
nya ketika aku berusia 18 tahun yang
membuatku ‘melek’ dengan segala ketidakadilan—ataupun ujian hidup yang bisa
menghampiri siapa saja. Ketika itu, aku banyak membaca tentang realita dunia
kerja, masalah pola pengasuhan anak, obrolan dengan pasangan yang idealnya
dilakukan, dari dia.
Juga ingin sangat berterimakasih
atas semua obrolannya dengan para Psikolog yang membuka mataku tentang
kesehatan mental serta pentingnya cara berkomunikasi dengan baik agar kita bisa
terus menjadi pribadi yang lebih baik (tidak lupa dengan beberapa psikolog dan
influencer favoritku lainnya seperti Jenny Jusuf, Analisa Widyaningrum,
Pingkancbr, Gitasavitri dan masih banyak lainnya yang belum kusebutkan karena
telah membuka mataku dalam banyak hal)
Terimakasih juga atas semua buku
yang kubaca, dari mulai kisah nabi yang hobi kupinjam sejak SD, buku-buku
perpustakaan daerah yang rutin kubaca ketika aku SMP, serta buku-buku
kesustraan beserta sajak dan juga syair yang kubaca di perpustakaan SMA. Dan
hingga kini, kebiasaan membacaku belum juga hilang namun mungkin aku harus
lebih berhati-hati juga.
Terimakasih atas akun-akun sajak
serta poetry yang mengajarkanku bagaimana menguatkan diriku melalui tulisan—seperti
yang sedang kusampaikan saat ini sejak dulu di zaman weheartit maupun pinterest yang
mulai booming di Indonesia sekarang. Percaya atau tidak, sejak dulu tulisan dan
afirmasi memang menguatkanku dalam banyak hal sejak aku kecil. Dan kurasa, itu
yang membuatku memilih Jurusan Bahasa sebagai jurusan sekolahku ketika SMA dan
juga sekarang menempuh Ilmu Komunikasi.
Dan disinilah aku bisa
menumpahkan apapun yang kurasakan sebebas-bebasnya dan seapa-adanya diriku
tanpa dihantui rasa bersalah dan cemas berlebihan. Ini mengingatanku agar tidak
pernah menyepelekan perasaan stress seseorang karena kita tidak pernah tahu—sejatinya
apa saja yang pernah dilalui dalam hidupnya dan bagaimana upayanya untuk terus
bangkit dari semua masa lalunya.
Oh iya, ngomong-ngomong soal
buku, sejak kecil aku sangat tertarik dengan KKPK alias Kecil-kecil punya karya, bahkan sudah membikin ide mengenai
tulisanku—yang fiksi maupun tidak namun sampai saat ini belum kesampaian.
Doakan aku, ya!
Sincerely, Ismi.
13/05/2022
gaskeun fiksi
BalasHapus