Bagian Enam Belas: Perihal Dualitas dalam Hidup
Halo, aku kembali lagi dengan tulisanku.
Sepanjang dua tahun terakhir, banyak sekali hal baru yang kupelajari. Salah satu hal tersebut adalah spiritualitas. Ternyata, beberapa manfaat pun mulai kurasakan. Aku tidak serta-merta meng-claim bahwa diriku berperilaku lebih baik dari sebelumnya, karena aku juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun yang ingin kutekankan disini, dengan mempelajari spiritualitas, aku bisa lebih menjadi bijak dalam menyikapi maupun memahami berbagai hal.
Pelan, namun pasti.
Aku baru tahu bahwasanya di dalam semesta ini, terdapat 12 hukum alam atau The Universal Law of Universe. Tidak akan kujabarkan satu-persatu, mungkin dalam tulisan lain dibagian berikutnya. Yang ingin kubahas kali ini adalah law of duality dan juga law of polarity.
Terkesan mirip, kedua hukum alam tersebut nyatanya berbeda. Dalam law of polarity, mereka menarik satu sama lain layaknya kutub utara dan kutub selatan, energi feminim yang menarik energi maskulin, dan lainnya. Sedangkan law of duality adalah, mereka tidak saling tarik-menarik atau membutuhkan, melainkan benar-benar berlawanan.
Akan kubahas mengenai keduanya dalam kehidupanku sehari-hari.
Mulai dari energi feminim dan energi maskulin. Sejatinya, segala sesuatu dalam semesta ini merupakan energi. Dan manusia terbentuk dari beberapa energi pula, selayaknya makhluk hidup lainnya. Maskulin dan feminim tidak terikat dengan gender, setiap manusia membawa kedua energi itu dalam dirinya dengan alami. Contohnya diriku, yang beberapa tahun lalu salah menempatkan energi maskulin yang tidak pada tempatnya.
Energi maskulin itu adalah ego, keinginan untuk bersaing--kompetitif, ambisi, kehendak untuk mengontrol situasi, keadaan, maupun orang lain, dan sebagainya. Energi ini akan menjadi sangat powerful jika diterapkan di aspek kehidupan yang tepat. Contoh: akademis (pendidikan yang dijalani) atau karir. Namun akan menjadi kebalikannya jika diterapkan oleh perempuan dalam hubungan percintaan.
Mengapa demikian? Karena melawan kodrat. Dalam hubungan romansa, maupun rumah tangga, wanita tidak diciptakan untuk berkuasa, apalagi memimpin. Ini merupakan kesalahan besar yang terbiasa kulakukan di hubunganku sebelumnya. Karena sejatinya aku adalah wanita, mengandalkan energi maskulin membuatku lelah. Dan akhirnya membuat aku menarik pasangan dengan energi feminim pula.
Setelah mengetahui ini, apa yang kulakukan? Aku mengubah pola pikir bahwa memang wanita itu baiknya menerima. Bukan berarti tidak boleh memberi, namun tetap dalam batas sewajarnya saja. Tidak usah berlebihan.
Mengenai karir dan pendidikan, sebisa mungkin aku memakai energi maskulin tadi agar tetap berambisi, namun tetap dalam batas wajar. Pengalamanku dua tahun lalu, ketika aku terlalu berambisi mengejar hal tersebut, lagi-lagi aku kewalahan dan burn out. Solusinya? Aku menerapkan teknik detachment yaitu melepaskan, bahwa tidak segala hal selalu harus berada dalam kuasaku.
Melepaskan kemelekatan, atau detachment, adalah salah satu teknik baru yang aku kuasai di tahun ini. Aku belajar bahwa kemelekatan kita terhadap suatu hal, malah membuat hal tersebut pergi. Apapun itu. Bukan hanya pasangan, namun juga uang, kesehatan, karir, apapun itu.
Selain berencana, ada baiknya sisakan ruang untuk berserah. Berserah pada takdir atas segala usaha yang telah kita upayakan. Sisakan ruang untuk rela terhadap apapun yang terjadi. Ini adalah konsep yang diajarkan dalam Islam dan agama lainnya.
Dari ilmu spiritualitas, aku belajar bahwa ternyata uang juga termasuk energi.
Pernah bertanya-tanya kenapa orang yang pelit dengan alasan menghemat, energinya tetap seret dan mampet?
Dan pernah melihat tidak, seseorang yang nampaknya boros sekali, namun uangnya selalu ada saja entah darimana?
Ternyata, uang juga peka terhadap energi manusia. Menurutku, uang ini bisa merasakan niat manusia dalam menggunakannya. Kalau kita berpikir bahwa mencari uang itu susah setengah mati, realitanya mereka juga ogah-ogahan untuk menyambari. Sebaliknya, jika kita berpikir bahwa uang mencintai kita dan datangnya mudah, maka dia akan berbondong-bondong memanggil temannya yang lain.
Bukannya sudah jelas tertera dalam Al-Qur'an bahwa segala makhluk dimuka bumi ini sudah terjamin rezekinya oleh Yang Diatas? Belum lagi tambahan ayat "Aku sesuai prasangka hamba-Ku" yang menegaskan bahwa segala sesuatunya, bergantung pada pemikiran kita dan apa yang kita percayai.
Yang kulakukan akhir-akhir ini, adalah mempercayai bahwa aku adalah magnet rezeki. Dan sebisa mungkin, uang ini kugunakan untuk hal yang berguna, agar ia semakin menyukai kehadiranku. Logikanya, manusia saja jika terus-menerus disuruh melakukan hal yang tidak berguna, pasti malas bukan? Berbeda jika kita meminta seseorang untuk melakukan hal yang berguna, terlebih impactful, pasti dia sangat semangat untuk datang, bahkan mengajak teman-temannya yang lain agar sama-sama menjadi bermanfaat.
Uang tadi kugunakan untuk hal-hal yang membahagiakan diriku dan orang sekitarku. Mulai dari investasi pada diriku sendiri--seperti kesehatan dengan membeli makanan sehat, penampilan untuk menunjang diriku, atau investasi jangka panjang seperti bersedekah dengan keluarga dan orang terdekatku.
Setiap yang kudapatkan, berapa pun nominalnya, selalu kusyukuri seakan-akan aku mendapatkan uang yang banyak. Bayangkan saja jika ada seseorang menghargaimu sedemikian rupa, padahal kamu ini bukan siapa-siapa, sering dipandang remeh, dan direndahkan. Bagaimana perasaanmu? Tentu saja senang bukan main, kan?
There's one harsh truth that I learned this year: everthing you chase, it runaway.
Ketimbang mengejar, memaksa, dan membuat energi menjadi obsesi, aku membiarkan diriku menjadi magnet. Untuk apapun aspek kehidupan. Percintaan, keuangan, kebahagiaan, ketenangan, keberlimpahan, dsb.
Spiritualitas membuka mataku dalam banyak hal. Membantuku melihat ke dalam diri sendiri, alih-alih sibuk mempertanyakan kenapa hal ini dan itu yang tidak menyenangkan terjadi padaku.
Seperti yang kusebut di awal tulisan, belajar spiritualitas merupakan proses perjalanan yang panjang, masih banyak hal yang belum kuketahui tentang semesta ini, namun dengan memahami sebagian kecilnya, setidaknya mampu membuatku kokoh dan tidak terombang-ambing.
Dari dualitas pula, aku pelan-pelan memahami bahwa manusia memiliki dua sisi, yakni hitam dan putih, entah itu berlawanan ataupun beriringan. Sebaik-baiknya kita berusaha menjadi manusia dan memperbaiki kesalahan kita, selalu ada pergolakan batin untuk melakukan kesalahan yang sama.
And that's okay. It's our first time being a human after all.
Komentar
Posting Komentar