Bagian Enam: Mulutmu, Egomu, Harimaumu
Pepatah mengatakan, “Mulutmu, Harimaumu.”
Dua
kata sepele yang sebenarnya kalau kita telisik lebih dalam, mempunyai pemaknaan
yang luas dan membuka mata. Dikatakan mulut karena melalui mulut, segala bentuk
ucapan lisan kita lontarkan. Dikatakan harimau sebagai simbolisasi yang berarti,
ucapan kita sendiri lah yang mampu menikam kapan saja.
Boleh jadi ucapan yang dimaksud disini ialah ucapan yang
mengandung kemarahan. Ucapan yang seharusnya tidak kita lontarkan karena akan
berdampak menyakitkan. Ucapan yang semestinya kita pikirkan dua kali sebelum
terluapkan. Ya, lisan dan kemarahan memang suatu kombinasi berbahaya. Yang
mampu merusak segenap rasa percaya begitu saja.
Jangan lupakan ego yang mendominasi pikiran. Karena
luapan kemarahan itu tidak mungkin keluar begitu saja jikalau kita mampu
mengendalikan ego yang masih kita sembah. Ego yang masih kita junggung tinggi.
Ego yang harus kita menangkan bagaimanapun caranya.
Memang benar, setiap orang punya cara masing-masing guna
meluapkan kemarahan. Tidak ada salahnya. Namun, tidak juga sepenuhnya benar dan
mampu dijadikan pembelaan. Karena acap kali kita lupa, bahwa ada perasaan yang
harus dijaga. Ada hubungan yang harus dibina. Dan ada hati ... yang bisa saja
terluka.
Teruntuk siapa saja yang sedang membaca tulisan ini ...
kumohon dengan sangat. Tolong belajarlah mengendalikan emosimu. Terlepas dari
berapapun usiamu. Lampiaskan amarahmu dengan cara yang bijak agar tidak
menyakiti orang banyak. Pikirkan lagi dampak apa yang bisa orang terdekatmu
rasakan setelah kau mengeluarkan semua ego yang menguasaimu itu.
Aku tidak peduli apa gendermu, entah pria maupun wanita.
Tidak peduli berapa usia dan berapa banyak pengalaman hidup yang sudah kau
dapatkan. Tidak peduli apa gelarmu, status sosialmu, apalagi catatan ibadahmu.
Jangan jadikan amarah sebagai alasan untuk melampiaskan. Entah
bagaimana caramu melakukannya karena kita tidak pernah tahu, mungkin saja orang
terdekatmu jadi mati jiwanya karena perilakumu. Seseorang bisa dengan mudah
kehilangan rasa percaya. Tidak peduli seberapa besar kedekatanmu dengannya.
Sekalipun darahmu mengalir dalam tubuhnya.
Dan lagi, satu pepatah terkenal lain pun berkaitan:
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Aku berbicara demikian bukan berarti aku sudah menguasai pengendalian
diri dengan lihai. Oh, tidak. Aku tidak sepintar itu. Namun aku selalu
berusaha, bagaimana caranya agar kemarahanku ini tidak merugikan diriku dan
orang lain. Banyak orang diluar sana tidak mampu mencari pelampiasan, mereka
justru berakhir dengan menyakiti diri sendiri—seperti self harming, memukul dinding dengan keras, mengumpati diri
sendiri, dan lain-lain. Silahkan saja melakukan hal demikian jika ingin
terus-terusan memelihara kebodohan. Aku tidak melarang, tapi juga tidak
membenarkan.
Dan seperti kebanyakan wanita pada umumnya, satu hal yang
bisa kulakukan ketika amarah menguasaiku adalah: menangis. Memang disatu sisi
harga diriku akan berteriak mengataiku cengeng. Tapi disisi lain aku tahu
betul, menangis bukanlah pertanda bahwa diriku lemah. Justru dengan menangis,
aku merasa dapat meluapkan emosiku dengan dewasa tanpa merugikan orang lain.
Seringkali aku berpikir, buat apa melampiaskan emosi pada
orang disekitar padahal jelas-jelas kita tahu, yang kita lakukan tidak pernah
ada gunanya. Memang, hati rasanya plong begitu mengeluarkan kata-kata pedas dan
menyakitkan lengkap dengan nada suara yang tinggi, tapi bagaimana dengan orang
bersangkutan yang turut kena imbasnya? Is
that worth it?
The answer is no.
Ambil contoh kasus, ada seorang anak yang sehabis
dimarahi orangtuanya, justru melampiaskan kekesalan pada sahabat terdekatnya
sembari menjadikan kemarahan orangtuanya sebagai alasan. Tidak cukupkah rantai
amarah tersebut berhenti disitu saja? Haruskah kita meneruskan amarah orang
lain yang kita terima dengan orang terdekat kita? Apakah itu yang namanya
dewasa? Alangkah lebih baik jika kita tidak mampu menenangkan kemarahan
seseorang, setidaknya kita mampu meredam kemarahan diri sendiri bukan?
Bukannya semua orang harus terlebih dahulu belajar
mengenali diri masing-masing?
Hal ini juga berlaku untuk bagaimana cara kita meredam
emosi diri sendiri.
Sebenarnya kalau boleh jujur, tulisan ini dibuat karena
aku sedang merasa kesal. Dan ini merupakan salah satu caraku melepaskan
semuanya. Aku ingin rantai emosi ini berhenti disini sekaligus menjadi
pengingat, bahwa melampiaskan kemarahan kepada orang lain bukanlah sikap yang
dewasa.
Emosi kita adalah
tanggungjawab kita, bukan orang lain.
23 Januari 2019,
Ismi.
Komentar
Posting Komentar