Bagian Lima: Berbicara Tentang Pernikahan
“Doakan, ya, biar aku bisa nikah sama dia suatu hari
nanti.”
Adalah
salah satu kalimat penuh pengharapan yang mulai sering kudengar akhir-akhir ini
di umurku yang menginjak 19 tahun, yang notabenenya setahun lagi akan memasuki
fase 20-an. Percaya atau tidak, ketika mulai memasuki perguruan tinggi, obrolan
perihal menikah sedikit demi sedikit mulai tidak asing dibicarakan oleh
teman-teman sebayaku. Entah mereka serius atau tidak, aku tidak yakin.
Terkadang juga aku bertanya-tanya, apa teman-temanku yang kerap
menggembar-gemborkan nikah muda ini
sudah memahami betul apa itu pernikahan beserta konsekuensinya?
Mungkin
untuk sebagian orang, adalah hal lumrah bagi seorang wanita yang baru memasuki
awal 20-an untuk membicarakan pernikahan. Apalagi kita tinggal di Indonesia, yang
merupakan salah satu negara yang gemar mendoktrin para wanita-wanita muda agar
menikah muda di awal usia 20-an, dan menganggap menikah di umur yang cukup
matang—seperti 25 tahun ke atas adalah suatu hal yang tabu untuk dilakukan.
Aku
sendiri pernah dihadapkan pada pertanyaan “Umur berapa ingin menikah?” oleh
Acilku sendiri (yang dalam Bahasa Banjar, Acil adalah Tante) saat aku berusia
15 tahun. Dan dengan random-nya aku
jawab: umur 25.
Kenapa
25? Karena 25 adalah angka kesukaanku sekaligus tanggal lahirku.
Kemudian
Acilku menjawab:
“Ay,
kelamaan itu. Umur 22 aja habis lulus.”
Aku
meneguk ludah. Seriously? 22 tahun?
Itu
berarti tiga sampai empat tahun lagi dari umurku sekarang ketika menulis ini.
Membayangkannya
saja sudah membuatku ngeri. Bukan ngeri juga, sih. Tapi lebih ke tidak bisa
dibayangkan saja. Bahkan kalau kupikir-pikir tentang jawabanku hari itu, aku
mulai ragu. Bukan karena 25 terlalu cepat atau terlalu lambat—karena kurasa
sudah pas ditengah-tengah—namun lebih
karena aku sendiri belum tahu usia idealku untuk menikah itu kapan.
Jujur
saja, standar usia ideal untuk menikah itu cukup merepotkan. Karena sudah
pasti, dalam beberapa tahun yang bisa dihitung dengan jari, pertanyaan-pertanyaan
basa-basi seputar kapan menikah akan sering kudengar. Ya walaupun sepertinya
akan menjadi ‘masuk kuping kanan
keluar kuping kiri’ buatku. Aku cukup beruntung karena bukan tipikal orang yang
memusingkan pertanyaan basa-basi mengesalkan semacam itu. Tapi bagi mereka yang
perasaannya sedikit lebih sensitif itu lho ... kan kasian.
Ironisnya,
akhir-akhir ini juga banyak yang menyuarakan gerakan nikah muda guna
menghindari zina. It’s like dude ... are
you hella serious? Are they really joking?
Let me tell you something:
The problem is in your groin, and
marriage won’t solve a thing.
Aku
tidak mengatakan hal tsb tanpa alasan. Karena kalau menurutku.. tujuan menikah
itu bukan semudah melepaskan hawa nafsu belaka. Menikah lebih dari itu. Menikah
berarti berusaha menurunkan ego. Menyatukan dua pemikiran yang berbeda menjadi
satu. Memilih partner dan juga teman hidup untuk waktu yang sangat lama. Oh,
jangan lupakan bahwa menikah juga berarti harus siap menjadi orang tua. Dan
masih banyak lagi tujuan dan tanggungjawab menikah yang sebenarnya tidak bisa
dianggap sepele.
Aku
juga pernah mendengar bahwa, ada yang berkata kalau pernikahan dijadikan ajang
tolak ukur kebahagiaan. Tentu pernyataan ini juga membuatku pusing. Atas dasar
apa mereka menjadikan tolak ukur kebahagiaan seseorang adalah dengan menikah?
Padahal kalau dilihat realitanya, tidak sedikit orang yang berkurang
kebahagiaannya setelah menikah kok.
Aku
tidak menyalahkan teman-temanku yang ingin menikah muda seperti yang kukatakan
di awal, aku justru merasa iri. Sebegitu cintanya mereka dengan pasangan mereka
sampai-sampai membayangkan masa depan bersama. Karena kalau boleh jujur, sampai
detik ini aku belum pernah membayangkan menikah dengan lelaki manapun. Paling
hanya khayalan-khayalan tidak logis dengan orang-orang yang kukagumi seperti aktor
saja. Hahaha.
Memang
harus kuakui, semakin wanita beranjak dewasa, rasa ingin ‘main-main’nya pun
juga berkurang. Itu sebabnya mereka menjalani hubungan berkomitmen dengan satu
tujuan, yakni menikah. Bukan pacaran untuk kemudian putus ditengah jalan
seperti jaman sekolah dulu. Tidak heran beberapa dari temanku yang berhubungan
cukup serius dengan pasangannya mulai berani mempertimbangkan pernikahan,
walaupun tidak dilakukan dalam waktu dekat: kebanyakan memilih untuk
menuntaskan kuliah terlebih dahulu.
Aku
selalu ingin merasakan apa yang teman-temanku rasakan. Entah ini karena faktor commitment issues yang akhir-akhir ini
kumiliki, kurasa dalam dalam rentang umur 20-25 tahun, menikah tidak termasuk
dalam goal list hidupku. Namun aku
juga tidak menutup kemungkinan kalau takdir berkata lain. Siapatau tiga atau
empat tahun setelah aku menulis ini, malah aku yang nyebar undangan duluan.
Hahaha. Takdir memang selucu itu.
Tapi
satu hal yang kutahu, entah berapa tahun lagi, teruntuk pria yang akan menjadi
suami masa depanku kelak, percayalah bahwa menikahimu bukanlah suatu keputusan
yang mudah dibuat oleh orang yang ragu akan pernikahan dan komitmen sepertiku.
Tulisan
ini dibuat untuk kubaca beberapa tahun lagi, entah dengan pemikiranku terhadap
pernikahan yang masih sama atau tidak.
22
Januari 2019
Ismi.
Komentar
Posting Komentar