Bagian Delapan: Bengkel Muatakmu!!
Jadi ceritanya aku langsung ngetik ini karena baru aja
ngebahas tentang kebodohanku sama
Megan—teman dari SMP—lewat whatsapp.
Karena ngerasa geli aja gitu, iya aku geli sama kebodohanku sendiri, makanya
mau aku tulis. Itung-itung buat kenangan kan.
Dan
juga karena ini bahasannya nggak berat-berat banget kayak postinganku yang
sebelumnya, jadi bahasanya juga nggak bakal tinggi-tinggi banget. Aku pakai
bahasa biasa aja nih walaupun susah (karena keseringan nulis pake bahasa yang
ribet kali ya). Tapi percaya deh, seenggaknya aku udah berusaha. Hahahah.
Lanjuuut,
kurang lebih seminggu lalu, hari Jum’at tanggal 24 Januari, aku sama Megan lagi
main ke SMP kita yang dulu. Emang udah jadi rutinitas sih buat kita berdua
main-main ke SMP kalau ada waktu senggang (atau kalau lagi ada masalah hehe)
sambil datengin guru-guru yang lama dan Alhamdulillahnya masih ngajar.
Kebetulan
aku sama Megan ini paling deket bangeeeeettt itu sama Pak Mustofa (kita biasa
manggilnya Pakmus atau Papi hahaha, doi Guru Agama), sama satu lagi namanya Bu
Farida (kalau yang ini biasa kita panggil Mami hihi karena saking deketnya).
Waktu itu aku diajakin Megan datengin Mami sama Papi karena lagi ada masalah,
dan kita emang udah kebiasa cerita sama mereka berdua karena kita hanyalah bocah
yang tidak mengerti apa-apa akan dunia yang keras ini:”)) Wkwkwk skip deh ya.
Pas
kita berempat lagi keasikan bahas ngalor-ngidul, kan Pak Mus ini mau cerita ya,
doi bilang “Waktu itu Bapak ada menghadiri seminar workshop di Midtown—“ terus tiba-tiba, entah dorongan darimana, aku
potong aja “—workshop bengkel kah,
Pak?”
Hening.
Pak
Mus diem aja.
Doi
nggak mau ngelanjutin, mungkin terdiam sejenak sembari meratapi kebodohan anak
kesayangannya ini. Hahaha.
Terus
nggak lama, Megan langsung nyeletuk, “BENGKEL MUATAKMU!!!”
Mungkin
bukan nyeletuk sih. Lebih tepatnya ngegas.
“Loh
kan workshop artinya bengkel,” ujarku,
tanpa pikir panjang karena emang waktu itu ngomongnya nggak mikir, masih
mempertahankan statement pembodohanku.
Nggak
mau kalah, Megan tetap ngegas, “Ya tapi bengkel orang kerja bukan disitu,
Jokoooooo,”
Bisa
tebak reaksi Pak Mus?
Dia
diem aja. Meratapi kebodohan dua anaknya yang sedang berdebat perihal bengkel
yang nggak selesai-selesai.
Sedangkan
Bu Farida? Cuma bisa ketawa.
Dan
Megan tetap pada emosinya yang sedang tersulut.
Ngomong-ngomong,
waktu itu Pak Mus lagi mau cerita kalau dia lagi ikut seminar. Dia ketemu
temannya yang kebetulan seorang Pendeta. Nah pendetanya ini curhat begini:
“Bapak, kalau dipikir-pikir saya ini pendeta loh, ibaratnya orang terkemuka,
tapi tetap saja istri saya kok galak. Orang-orang pasti ngiranya adem-ayem
aja.”
Waktu
itu aku nggak paham betul sih Pak Mus ini kenapa tiba-tiba bahas temennya ini,
sampai nggak lama Bapaknya cerita, bahkan seorang seperti Umar Bin Khattab yang
dikenal sangar pada masanya, juga
takut istri.
Jadi
hikmah dibalik cerita ini adalah satu: workshop
itu artinya bengkel, dan
Dua:
mau setinggi apapun jabatan seorang pria, dibelakangnya tetap ada istri yang
paling dia takuti. Hahahah.
Sekian
deh ceritanya. Mungkin kedepannya aku harus lebih sering-sering cerita begini
kali ya, biar nggak monoton atau terlalu serius mulu isi blognya.
Sampai
jumpa di tulisanku yang berikutnya♥
16 Februari 2019
Tertanda,
Ismi.
Komentar
Posting Komentar