Bagian Tiga Belas: Filosofi Terangnya Bulan
Hal apa yang biasa kamu lakukan ketika lagi night ride sendirian? Dengerin lagu, fokus sama jalanan, atau ngomong sendiri? Hahaha. Kalau aku sih, ketiganya. Awalnya, aku mengira aku saja yang mempunyai kebiasaan 'aneh' seperti ini. Sampai akhirnya aku tahu bahwa.. aku tidak sendirian!
Pada suatu malam, aku yang tengah iseng menggulir beranda Twitterku menemukan cuitan seperti ini:
Semoga kebiasaan ngomong sendiri kayak lagi podcast pas naik motor ini cepat sembuh.
Hahaha. Aku langsung tertawa begitu membacanya. Agak bimbang antara sedih dan senang sih sebenarnya. Senang karena aku bukan lah satu-satunya 'ODGJ' yang memilih ngobrol dengan diri sendiri ketimbang orang lain, atau sedih karena ternyata kebiasaanku tidak se-istimewa nasi goreng langgananku.
Jadi ceritanya, malam ini aku berpatroli dengan Upy--motorku, seusai aku mengantar seorang teman pulang. Seperti biasa, aku ngobrol sendiri. Tidak benar-benar sendirian juga.. karena aku lebih menganggap bahwa aku sedang bercakap-cakap dengan Tuhan.
Iya, sebuah percakapan mesra penuh drama selayaknya seorang kekasih sedang mengadu manja pada pujaan hatinya. Selayaknya orang merayu pacar, seni berbicara dengan Tuhan salah satunya terletak pada kemampuan kita 'merayu'.
Selain manusia, hewan, dan tumbuhan, ternyata Tuhan juga suka dirayu! Kalau dalam agama Islam, ada yang namanya Asmaul Husna. Nah, itulah yang aku panjatkan ketika mulai berdoa. Kemudian, seperti kekasih yang baik pada umumnya, aku mengakui deretan kesalahanku tanpa ragu. Mulai dari yang sengaja maupun tidak. Besar atau kecil. Semua kuungkapkan dengan penuh penyesalan.
Langkah selanjutnya adalah aku berdoa seperti ini:
Ya Allah, lembutkanlah hati hamba. Tolong buat hati yang keras ini bergetar karena seizin-Mu.
Dan perlahan tapi pasti, air mataku pun bercucuran satu demi satu. Aku yang biasanya sulit menangis (karena obat anti depresan yang rutin kuminum) jadi menitikkan air mata dengan mudahnya. Memang, kuakui dulunya aku sangat cengeng. Namun jika kuingat lagi, bukankah anak kecil yang hatinya tulus juga mudah menangis? Hal itu yang meyakinkanku bahwa.. menangis tidak selamanya buruk. Menangis adalah salah satu bentuk pelampiasan emosi yang bisa dirasakan manusia dan aku tidak perlu merasa bersalah jika menangis.
Dan satu hal pasti: menangis bukan lah tanda jika kau lemah.
Bisa jadi sebaliknya, bukan?
Rentetan peristiwa yang membuatku hancur setahun belakangan pun saling bertabrakan; tiada henti, berputar bagaikan roda yang remnya mati. Namun terlepas dari itu semua, aku tetap bersyukur dan percaya bahwa Tuhan memberikan ujian sesuai porsi masing-masing. Tidak pernah kurang dan tidak pernah lebih.
Mungkin tanpa kejadian itu, aku tidak akan menulis panjang lebar hari ini. Dan juga tulisan ini tidak akan terbaca olehku di masa depan. Aku yakin, something great must be waiting for me ahead. Sudah menjadi hukum alam di dunia bahwa kita semua akan diuji dengan hal yang terlalu kita cintai.
Sinar bulan pun menerangi perjalanku malam ini. Tidak terlalu terang, namun juga tidak terlalu gelap. Dengan hanya menampakkan diri setengahnya, aku sudah cukup merasa ditemani oleh keindahan rembulan.
Semakin jauh jarak yang kutempuh, semakin aku sadar bahwa diri ini ternyata rapuh. Tak mampu lagi berdiri teguh, namun enggan meluruh.
Setelah dirasa cukup berputar-putar dan mencurahkan isi hati, aku memilih pulang. Selain karena perut yang kian lapar, aku juga terlampau lelah. Untuk mengeluarkan segala isi hati memerlukan banyak sekali energi.
Tidak lupa sesekali kulontarkan canda gurau pada Yang Kuasa. Dibalik semua yang terjadi, mungkin terselip rasa cemburu Tuhan karena aku lebih mencintai ciptaan-Nya. Bisa jadi Tuhan rindu percakapan yang kulakukan ini karena lebih memilih untuk berbincang dengan kekasih hati.
Lucunya, berbeda ketika aku curhat dengan manusia yang membuat energi susut dan kepala sedikit linglung, aku justru merasa lega. Rasanya seperti beban berat yang selama ini kutanggung menguap entah kemana. Semua perasaan marah, sedih, dan kecewa seakan sirna begitu saja.
Sesampainya di salah satu dataran paling tinggi yang ada di perumahan, aku berhenti sejenak sambil kembali menatap Bulan yang seakan ikut mendengarkan segala curahan yang telah kusampaikan. Dengan tertutup sedikit awan, aku pun berani menarik kesimpulan:
Manusia itu sejatinya seperti bulan. Kadang tertutup awan, kadang gerhana penuh, kadang ditemani bintang, bahkan terkadang tidak juga menampakkan diri.
Mungkin belum saatnya gerhana penuh itu datang; bisa jadi malam ini sedang tertutup awan.
Sama halnya seperti cuaca yang tidak selalu cerah dan terik, bisa jadi hari ini gilirannya untuk rintik.
Yang harus kita lakukan hanyalah satu;
Jalani,
jalani.
dan jalani.
Hari demi hari.
Aku mau apapun cobaan yang sedang kau jalani, jangan pernah berhenti. Temukan alasan untuk membuatmu menemukan diri sendiri. Ingat bahwa tidak semua masalah butuh solusi; mereka hanya perlu untuk dilalui.
Komentar
Posting Komentar