Bagian Tiga: Perihal Cinta yang Hampir Sempurna
Selama 18 tahun aku hidup, tentu aku pernah merasakan cinta dengan berbagai cerita. Bukan cinta banget-bangetan sih, aku sendiri merasa menyebut ‘cinta’ itu agak berlebihan. Mungkin lebih tepatnya cinta monyet kali ya—alias cinta kanak-kanak—karena aku merasakannya sewaktu aku masih kecil dan belum pada umur yang ‘legal’ seperti sekarang. Kenapa kusebut cinta monyet karena pada saat itu aku belum mencapai tahap emosional yang cukup stabil (walaupun sekarang juga belum bisa dibilang stabil, sih), atau dengan kata lain masih ... labil.
Berbicara
tentang cinta, sekarang aku akan membahas perihal cinta yang paling menyayat
hati—berdasarkan pengalamanku sendiri—sesuai janjiku pada postingan tentang
‘Cinta Pertama’ yang sudah kutulis dua hari lalu.
Dikatakan
paling menyayat hati karena cinta yang satu ini bersifat ‘hampir’ dan sedikit
lagi akan mencapai tahap yang sempurna. Tahap sempurna karena—seharusnya—aku
bisa memberi cinta kepada orang tersebut tanpa khawatir tentang suatu apapun
lagi, atau dengan kata lain, cintaku hampir
berbalas dengan sebegitu indahnya. Berbicara tentang perasaan hampir ini, aku jadi teringat lagu
Ariana Grande ft. Nathan Sykes yang berjudul Almost is Never Enough, yang masih kudengarkan sampai sekarang tiap
kali perasaan tersebut datang menghampiri.
Almost, almost is never enough
So close to being in love
If I would have known that you
wanted me
The way I wanted you
Then maybe we wouldn't be two
worlds apart
But right here in each others arms
Here we almost ... we almost knew
what love was
But almost is never enough
(Ariana
Grande ft. Nathan Sykes – Almost Is Never Enough)
Terlepas
dari berbagai macam alasan mengapa cinta itu bisa selesai bahkan sebelum sempat
dimulai, satu hal yang kutahu: tidak ada rasa sakit melebihi perasaan yang
dibalut dengan ekspektasi. Karena cinta tersebut sudah selesai sebelum dimulai,
tentu saja aku pernah berangan-angan—sebagai salah satu kebiasaan bodohku
ketika mulai jatuh cinta—dan disinilah aku, jatuh terhempas sebegitu tingginya
dari langit harapan, membuat tulang-tulangku mampu menghentak bumi dengan
begitu hebat.
Aku
tahu, tidak seharusnya aku berangan-angan. Tidak seharusnya aku menaruh ekspektasi
tinggi beserta harapan. Aku tahu, tidak seharusnya aku mengharap apapun dari
manusia, selain diriku sendiri dan juga Tuhan. Perasaan-perasaan seperti
“Seharusnya aku datang ke tempat ini bersama dia”, “Seharusnya aku bisa
melakukan ini dengannya”, atau “Seharusnya aku melakukan ini, bukan itu”.
Pikiran-pikiran yang berujung dengan menyalahkan diri sendiri tiada henti.
Karena
itu pula, aku memilih berhenti. Berhenti melibatkan semua perasaan yang tidak
mampu kukendalikan dengan akal pikiran. Berhenti berjalan berdampingan dengan
harapan. Berhenti merasakan apapun, sekalipun hatiku ingin. Berhenti mengulang
kesalahan yang kulakukan. Dan disinilah aku, yang masih terus berusaha
menggantungkan segala kemungkinan di tangan Tuhan.
Aku
tidak tahu harus mengkategorikan mereka yang menjadi korban perasaan hampir
sempurnaku itu sebagai apa. Teman? Bukan. Mereka lebih dari sekedar itu. Pacar
apalagi. Wong hubungannya aja selesai
sebelum sempat dimulai, kok. Gimana mau dikasih status ‘mantan’? Lebih dari
teman, namun kurang dari mantan. Mungkin lebih tepatnya seperti itu.
Segala
pengalaman-pengalaman ini tidak selamanya membawa dampak buruk buatku sampai
hari ini. Somehow, I feel so thankful for
everything that I did. Mungkin disatu sisi hal ini merupakan teguran halus
dari Tuhan yang mengajarkanku untuk menyeimbangkan logika dan perasaan, agar
tidak berat sebelah. Mungkin ini cara Tuhan mengajarkanku definisi rela.
Mungkin Tuhan ingin aku agar bisa bersikap lebih dewasa. Dan mungkin saja,
kalau aku tidak pernah mengalami semua kenangan pahit—yang tentu ada pula
manisnya—itu, sekarang aku hanya duduk termenung karena tidak punya bahan untuk
menulis.
Sebenarnya,
kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada yang patut kusesali. Entah sejak kapan aku
membiarkan kebiasaan ini—terbiasa menyalahkan diri sendiri atas semua cinta
yang pergi—yang tidak baik bagi diriku sendiri. Semua orang pernah melakukan
kesalahan. Semua orang pernah menyesali suatu pilihan. Semua orang ingin
kembali ke masa lalu guna memperbaiki masa depan. Termasuk aku.
Dan
satu hal yang kutahu ... semua cinta, pasti akan datang dan pergi.
Aku
tahu benar tulisan ini sedikit mellow. Sangat
bertolak belakang dengan kepribadianku pada hari-hari biasa. Anyway, terimakasih sudah membaca!♥
28
Desember 2018
Tertanda,
Ismi.
Komentar
Posting Komentar